Maaf, aku tak bisa menikah denganmu

Maaf, aku tidak bisa menikah denganmu
Maaf, aku tidak bisa menikah denganmu


"Maaf," kataku pada wanita yang selama ini selalu setia di sampingku.

Dan setelah aku mengucapkan satu kata itu, aku lihat air matanya mulai menetes dari balik kacamata yang selalu menggantung di wajah manisnya. Aku pun teringat kenangan waktu kali pertama aku bertemu dengannya.

Waktu itu, aku sedang berada di sebuah kantor, yang nantinya akan menjadi kantormu. Kita berdua sama-sama melamar di perusahaan itu. Namun tes pertama yang merupakan tes psikotes diikuti banyak orang, sehingga aku pun tak dapat berkenalan denganmu lebih lanjut. Aku hanya memandangmu dari kejauhan saja. Untungnya di tes yang kedua, hanya kita berdua yang tersisa. Aku pun memberanikan diri untuk menyapa dirimu.

"Lolos juga yah?" tanyaku padanya yang hanya dibalas dengan anggukan dan sedikit senyuman.

"Nanda," kataku sambil mejulurkan tanganku mengajak berkenalan.

"Mia," balasnya.

Sejak itu, aku dan Mia terus berhubungan. Kamipun berteman, meski bukan itu tujuan awalku. Aku memang tidak diterima di perusahaan itu, karena Mia yang terpilih. Tapi itu tak membuat hubungan kami terputus. Sebulan kemudian, aku diterima kerja di perusahaan lain yang letaknya berada di gedung yang sama dengan perusahaan Mia. Di Ibukota memang banyak gedung yang dihuni oleh perusahaan yang berbeda.

Kami sering pergi dan pulang bersama-sama, sehingga seiring waktu, rasa cinta dan sayang tumbuh di hatiku. Apalagi aku tahu bahwa dia pun masih menyendiri.

Suatu hari, ketika kami dalam perjalanan pulang menuju Bogor. Aku mengajaknya makan malam.

"Eh, sebelum pulang kita dinner dulu yu!" ajakku sembari merayu di dalam bus yang sedang berjalan di Jagorawi.

"Boleh ajah, kebetulan aku juga laper. Mana orang rumah lagi pada pergi semua," balasnya.

Kami pun pergi makan malam berdua dan setelah itu aku mengantarkannya pulang. Di rumahnya, Mia mengajakku untuk mampir sebentar. Dalam hatiku, inilah saatnya untuk menyatakan perasaanku yang sesungguhnya kepada Mia.

"Mia..." panggilku dengan mesra di sela-sela acara TV yang sedang kami tonton bersama.

"Apa?" tanyanya padaku dengan lembut.

"Aku sayang sama kamu. Kamu mau kan jadi pacarku?" kataku tanpa basa-basi lagi.

Mia terdiam. Nampaknya dia memikirkan pernyataanku itu. Sementara, hatiku berdegup dengan kencang. Padahal kala aku nyatakan perasaanku, hatiku biasa saja. Namun waktu penantian membuat hatiku berdebar kencang menunggu jawabannya.

"Boleh deh!" kata Mia setelah beberapa saat terdiam, lalu mengalihkan pandangannya ke arah tontonan yang ada di televisi flat screen itu.

Suasana hatikupun berubah bahagia, sekaligus heran karena setelah kami resmi menjadi sepasang kekasih, Mia lebih tertarik dengan tayangan yang ada di televisi. Tapi, aku tak begitu emngindahkannya. Toh, dia sudah resmi menjadi pacarku.

Saat-saat kami berpacaran, satu hal yang aku suka dari Mia. Dia selalu teguh memegang pendiriannya. Jika dia bilang tidak, ya tidak. Begitupun sebaliknya. Aku tidak pernah memaksa. Tapi apa daya, aku hanya seorang lelaki.


"MAAF!" bentak Mia yang memudarkan memoriku.

"Kamu cuman bilang maaf setelah apa yang kamu lakukan?" bentaknya lagi sembari bertanya.

Aku tak menjawab pertanyaan itu, karena aku pun tak tahu harus menjawab atau berkata apa selain "maaf" atas apa yang aku lakukan.

"Kita udah pacaran selama setahunan dan kamu tiba-tiba bilang kalau kamu harus menikahi orang lain. Kamu tuh maunya apa sih?" kata Mia dengan nada yang sama kerasnya diiringi isak tangis sesekali.

Kami memang sudah berpacaran selama setahun, tapi selama itu juga aku telah mengkhianatinya beberapa kali.

Isak tangis Mia semakin sering. Matanya tak sanggup menahan air mata yang mengalir dari kesedihannya.

Aku tahu bahwa yang aku perbuat membuatnya sedih, hanya saja hal itu baru ku sadari kini. Setelah aku mengaku semua perbuatanku padanya.

"Selama ini, kamu yang selalu nolak lebih serius. Tapi sekarang malah kamu yang mengkhianati aku. Aku..." katanya yang tak menyelesaikan kalimatnya karena air mata kesedihan semakin mengalir kencang.

"Dia hamil, Mi. Aku harus tanggung jawab," kataku dengan jujur mengatakan alasanku untuk menikahi orang lain selain pacarku sendiri yang telah kurang lebih satu tahun menjalani kisah indah.

Setelah berkata itu, aku memejamkan mataku sembari berharap tamparan melayang di pipiku, meski aku tahu aku lebih berhak menerima lebih dari itu. Tapi tamparan itu tak pernah datang.

“Jadi aku harus hamil dulu biar kita bisa menikah? Maaf, buat aku, itu sama sekali bukan sebuah pilihan,” bentak Mia lalu berlari menjauhiku dan meninggalkan air matanya dalam jejak pelarian itu.

Aku ingin sekali mengejar dirinya, tapi aku tak mungkin melakukan itu. Aku tak mau mengkhianati cinta untuk yang kedua kalinya. Aku memang selingkuh dengan orang lain yang memberikan hubungan yang lebih intim, meski rasa sayangku lebih besar pada Mia. Aku terlalu membiarkan gairahku menyesatkan cinta yang aku miliki.

Sudahlah. Alasan apapun yang aku berikan tak akan mampu mengusir kesedihan Mia dan tidak akan mampu menghapus kesalahanku. Aku pun hanya mampu berkata, "maaf, aku tak bisa menikahi dengan dirimu". Lebih baik aku jalani hidupku daripada harus memberikan alasan-alasan yang tak berarti untuk Mia dan juga untuk diriku.


"Maaf, buat aku, itu sama sekali bukan sebuah pilihan."


Silahkan Berkomentar Sesuka Hati